Saat rumah idaman membawa kegalauan: pasutri & pembiayaan yang keliru

Bagaimana kisah sepasang pasutri muslim yang terjebak pembiayaan tak sesuai syariat hingga akhirnya dinyatakan bebas? Simak studi kasus nyata pendampingan SWM dalam mengurai sengketa muamalah dan menjaga keberkahan harta.

BANK

Tim SWM

7/16/20253 min read

Prolog: Sebuah Niat Baik

Kisah ini berangkat dari realita klien yang kami dampingi, sepasang suami-istri muslim (sebut saja Pak Amir dan Ibu Rima), yang tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana. Hubungan mereka dengan pemilik kontrakan berjalan sangat baik, hingga pemilik rumah merasa yakin bahwa Pak Amir sekeluarga adalah keluarga muslim yang amanah.

Suatu hari, karena memerlukan dana segar, pemilik rumah menawarkan agar rumah kontrakan tersebut dibeli saja oleh Pak Amir dengan harga miring — jauh di bawah harga pasar. Tentu ini menjadi peluang emas yang sulit diabaikan. Namun, kondisi keuangan Pak Amir saat itu belum memungkinkan untuk membeli rumah meskipun harganya sangat bersahabat.

Rumah Terbeli, Namun Datang Kegalauan

Akhirnya, dengan tekad ingin menata keluarga dalam rumah sendiri, Pak Amir memutuskan meminjam uang dari orang tua. Dana pinjaman berhasil diperoleh, rumah pun resmi terbeli. Dan cicilan pengembalian kepada orang tua berjalan lancar — tanpa perjanjian tambahan apa pun yang mengandung unsur riba.

Namun beberapa waktu kemudian, Pak Amir baru menyadari fakta penting: ternyata uang yang dipinjamkan oleh orang tuanya berasal dari ‘menyekolahkan’ SK ke bank konvensional. Orang tua mereka yang berstatus PNS memperoleh pinjaman ribawi berbasis bunga. Seketika hati Pak Amir dan Ibu Rima merasa gelisah. Mereka gusar, meski tak terlibat langsung dalam akad ribawi, mereka telah menjadi bagian dari siklus utang yang menyalahi syariat, bahkan menyeret langsung orang tua.

Upaya Menutup Utang Riba dengan LKS

Tak ingin larut dalam kegelisahan, Pak Amir berinisiatif mengajukan pembiayaan ke salah satu Lembaga Keuangan Syariah (LKS) ternama, dengan harapan dana pembiayaan syariah tersebut dapat digunakan untuk menutup pinjaman orang tua ke bank konvensional.

Sayangnya, pihak LKS menolak pengajuan karena objek rumah sudah dibeli secara langsung oleh Pak Amir sebelumnya. Namun, LKS memberikan opsi lain: mereka bisa memfasilitasi pembiayaan ‘renovasi rumah’ dengan skema jual beli material. Padahal, Pak Amir sama sekali tidak berencana merenovasi rumah. Awalnya beliau bimbang, sebab transaksi tersebut terkesan manipulatif. Namun demi segera menutup utang orang tua di bank konvensional, akhirnya Pak Amir menerima saran tersebut.

Dalam waktu singkat, dana cair dari LKS dan langsung digunakan untuk melunasi utang orang tua ke bank. Semula, Pak Amir merasa lega, tetapi lambat laun justru muncul kegelisahan baru. Ada sejumlah kejanggalan yang membuat beliau kembali gusar.

Titik Kritis yang Mengusik Hati

1. Dalam akad pembiayaan, pihak LKS langsung menyerahkan dana tunai untuk ‘pembelian bahan material’ kepada Pak Amir — tanpa ada proses LKS membeli barang dari supplier terlebih dahulu. Ini lebih menyerupai utang berbunga daripada jual beli.

2. Setelah beberapa tahun mencicil, Pak Amir merasa telah menyetor jauh lebih besar dibanding pokok yang diterima, namun kewajiban belum juga lunas.

3. Terdapat denda keterlambatan, sedangkan pengetahuan syariah mereka memahami denda keterlambatan adalah termasuk riba yang diharamkan.

Merasa tidak tenang, Pak Amir dan Ibu Rima kemudian menghubungi kami di SWM, memohon pendampingan agar masalah ini dapat diurai secara objektif dan selaras syariat.

Pendampingan: Solusi Objektif & Menenteramkan

SWM dengan sigap melakukan kajian komprehensif atas akad dan seluruh dokumen pembiayaan yang dipegang Pak Amir. Dari hasil analisa mendalam, kami menemukan beberapa titik kritis (selain adanya potensi side-streaming yang dianjurkan oleh oknum LKS sendiri), di antaranya:

  • Bank langsung menyerahkan uang tunai tanpa melalui proses jual beli.

  • Bank menjual objek akad yang belum diterima dan dimilikinya.

  • Penyertaan asuransi jiwa serta asuransi atas agunan yang diwajibkan.

  • Adanya ketentuan denda atas keterlambatan pembayaran.

Kajian tersebut kami susun berdasarkan International Shariah Standards AAOIFI, Fatwa DSN-MUI, serta referensi Majma' Fiqh Al Islami (OKI) — agar objektif, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan. Laporan ini kemudian kami jadikan bahan untuk mengupayakan mediasi Pak Amir dengan pihak LKS.

Mediasi hingga Tingkat Pusat LKS

Awalnya mediasi hanya dilakukan di kantor cabang. Namun SWM terus mendampingi hingga proses naik ke tingkat pusat, tempat pengambilan keputusan tertinggi di lembaga tersebut. Dengan pendekatan ilmiah dan komunikasi konstruktif, akhirnya pihak LKS mengakui terdapat sejumlah kelemahan prosedur dalam transaksi tersebut.

Alhamdulillah, atas izin Allah, keputusan diambil: kewajiban Pak Amir kepada LKS dinyatakan selesai, tanpa denda atau tuntutan tambahan lainnya. Pak Amir sekeluarga pun dapat melanjutkan kehidupan dengan lebih tenang, merasa yakin telah keluar dari transaksi terlarang — yang jika tidak segera diputus, cepat atau lambat akan mendatangkan kesengsaraan.

Menuju Hidup Lebih Tenang & Berkah

Kisah ini menjadi pelajaran berharga bahwa niat baik saja tidaklah cukup, tetapi juga harus ditempuh dengan cara yang benar — agar harta dan keluarga selamat dari perkara yang dilarang syariat.

Apabila Anda, keluarga, atau rekan usaha tengah menghadapi problem serupa dalam muamalah bisnis, syirkah, waris, gono-gini, atau transaksi dengan lembaga keuangan, Muamalah United bersama SWM siap membantu secara syar’i dan profesional, dengan tetap menjaga kerahasiaan dan martabat keluarga Anda.

*Catatan:

Kisah ini telah disamarkan dan tidak dapat digeneralisasi kepada lembaga keuangan syariah mana pun. Hal ini hanya menyangkut peristiwa khusus yang terjadi pada individu atau oknum tertentu.